Sastra dan Polemik MPU (Mitra Praja Utama) oleh Indah Darmastuti



Cara memperlakukan sastra akan menjadi cermin seberapa bermartabat dan seberapa tinggi peradaban sebuah bangsa. Pernyataan itu tentu masih terbuka untuk dibantah atau perlu juga digeledah mengapa ranah itu juga sangat berpotensi mendatangkan polemik. Baik karya-karya sastra yang diproduksi maupun agenda-agenda semacam perayaan yang mengatasnamakan sastra.
Seperti yang terjadi pada Sastra MPU (Mitra Praja Utama) lingkup Jawa Tengah. MPU adalah agenda sastra yang dihelat oleh pemerintah beranggotakan 10 Provinsi dengan maksud agar para sastrawan daerah bisa bersilahturahmi dan saling mengenal baik dari segi karya maupun personal. Diselenggarakan rutin setiap tahun (sebelumnya 2 tahun sekali) dengan lokasi acara berpindah-pindah. MPU terakhir (ke-9, 2015) diselenggarakan di Kupang, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur. Ironinya, banyak sastrawan Jawa Tengah belum paham tentang agenda sastra yang secara rutin diadakan oleh pemerintah di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Panitia memang membatasi peserta MPU. Setiap provinsi hanya mendapat jatah 7 peserta dengan rincian 5 sastrawan, 2 birokrat dan pendanaan ditanggung oleh panitia. Setiap daerah diperbolehkan menambah jumlah peserta dengan syarat dana akomodasi ditanggung oleh pemprov masing-masing. Tetapi yang terjadi di Jawa Tengah, justru sebaliknya.
Tidak seperti di daerah-daerah lain misalnya Banten atau Jawa Timur, sistem kurasi di Jawa Tengah sangat tertutup dan kurang jelas persyaratan atau kriteria calon peserta. Dari tahun ke tahun, delegasi dari Jawa Tengah lebih banyak diisi birokrat dan hanya sedikit saja pelaku sastra yang ikut serta di dalamnya. Hal ini memancing reaksi dari berbagai pihak yang menginginkan MPU  tidak semata-mata hanya event sastra yang menghabiskan anggaran dinas.
Dipicu sebuah esai Dimas Indiana Senja a.k.a Sayyid Ahmad Khan penulis dari Brebes yang dimuat dalam Buletin Kanal edisi kedua yang memerkarakan transparansi dan kurasi MPU Jawa Tengah. Esai itu berisi kegelisahan kolektif, dan banyaknya sastrawan yang tidak tahu padahal event ini sudah berlangsung cukup lama.
Solo menangkap kegelisahan itu, kemudian digelarlah sebuah forum diskusi dengan judul: “Mengulik Sastra MPU Jawa Tengah” di Balai Soedjatmoko 9 Januari 2016 dengan peserta antara 60 orang dari berbagai daerah lingkup Jawa Tengah.
 Malam itu hadir Ganjar Sudibyo sebagai redaktur Buletin Kanal, memberi penjelasan perihal pemuatan esai yang mengkritisi MPU. Bahwa isue ini penting diungkap karena masyarakat sastra berhak mengetahuinya secara gamblang, mengingat agenda ini adalah milik publik dan menggunakan dana publik tentu semestinya juga untuk publik, bukan untuk beberapa birokrat yang masih dipertanyakan kompetensinya dalam ranah sastra Indonesia.
Beberapa orang menganggap forum diskusi seperti ini cukup terlambat karena persoalan ini sudah berlangsung sejak diadakannya MPU. Namun sebelumnya, pada 2014 Beni Setia dan Gunoto Sapari sudah mengkritisi kebijakan tersebut. Tetapi rupanya bola yang dilempar oleh dua sastrawan itu tidak mendapat sambutan luas.
Hadir juga pada forum itu, para sastrawan yang pernah mengikuti MPU untuk memberikan testimoni dan ragam pemikirannya. Di antaranya: Beni Setia (Ngawi) Triyanto Triwikromo (Semarang) Gunawan Triadmojo (Solo) Wijang Wharek (Solo) Seseno WS (Semarang) Triman Laksono (Magelang) atas undangan Sosiawan Leak dan Yudhi Herwibowo sebagai pemrakarsa diskususi yang dimoderatori oleh  Yunanto Sutyastomo.
Pada moment yang diwarnai ketegangan itu, para sastrawan mencoba mengurai sekaligus menelisik bagaimana kerja MPU yang diduga ada manipulasi di dalamnya dan disinyalir hanya menghabiskan anggaran. Harus ditolak jika MPU hanya dikuasai beberapa gelintir orang pemerintah yang kurang mengetahui seluk beluk sastra dan hanya menggunakan agenda tersebut menjadi ajang politik kepentingan. Dan lebih memrihatinkan lagi jika itu adalah acara piknik tetapi memakai embel-embel sastra.
Inilah yang menjadi tujuan utama digelarnya diskusi, yaitu memberi klarifikasi bagaimana mekanisme MPU Jawa Tengah berjalan. Tetapi sangat disayangkan karena pihak pemerintah pusat (Jawa Tengah) atau dinas terkait belum dihadirkan sehingga dialektikanya tidak jalan. Diskusi menjadi kurang efektik dan belum menyasar. Tentu akan lebih terbuka dan kuat seandainya diskusi serupa ditindaklanjuti dengan menghadirkan pihak-pihak yang mengampunya. Supaya nama-nama yang dihadirkan dalam event itu bukan selalu nama yang sama dengan yang hadir pada tahun-tahun sebelumnya. Tetapi nama-nama yang kompetensi untuk mengenalkan sastra dari daerah Jawa Tengah kepada para sastrawan di daerah lain seperti tujuan mula-mula.
Inti dari pertemuan tersebut adalah, bagaimana agar ke depannya ketika pemerintah menghelat MPU atau mengadakan agenda yang lain, bisa terlaksana tanpa keluar dari misinya yaitu menghidupi sastra dan mengakui eksistensi sastrawannya. Jangan sampai pemerintah membuat wadah untuk menghidupkan sastra, tetapi tidak (mau) mengenal para sastrawan di daerahnya. Itu sangat menyedihkan.
Kembali pada awal tulisan ini, bahwa cara memperlakukan sastra menunjukkan siapa jati diri kita. Bagaimana Jawa Tengah bisa memberi sumbangsih kepada sastra Indonesia (apalagi dunia) apabila dalam pengelolaannya masih belum paham benar apa dan bagaimana kedudukan sastra.
Semoga momen pertemuan yang telah diupayakan di Solo, bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam pelaksanaan MPU ke depannya, dan demi hidupnya sastra Indonesia. Semoga. []


Indah Darmastuti, bukunya Makan Malam Bersama    
       Dewi Gandari (bukuKatta) baru saja dirilis.

Share:

0 komentar