“Ada kalanya saya marah begitu keras dan adakalanya saya mendekapnya demikian erat!” bincang-bincang dengan Wijang Wharek


Aku menyusuri jalan terjauh dibanding selama ini yang pernah kutempuh. Jalan besar dan panjang dengan berbagai kendaraan lalu lalang di kanan kiri. Tubuhku masih agak sakit namun janji adalah janji, aku meneguhkan diri untuk berlanjut, jadwal yang mundur 1-2 jam malah membuatku lebih leluasa menaiki kendaraan. Melewati stadion Manahan di Kota Solo dan terus melaju hingga resort terbesar di Solo, Lor In, motor berbelok sebentar ke belakang kantor Bulog menjemput esais kita, Bandung Mawardi, dibelakang motor saya ternyata Poetri telah melaju dengan pelan, sendiri.

Bertiga kami menembus kota menuju barat, melalui Kertasuro, menuju Delanggu, tempat di mana profil kita kali ini tinggal. Dia adalah Wijang Jati Riyanto, nama beken penyair ini: Wijang Wharek Al Ma’uti, siapapun seniman yang bersentuhan dengan Taman Budaya Jawa Tengah/TBS di Kota Solo pasti mengenalnya. Sosoknya gagah, tinggi besar, rambut beriak dan panjang, kulitnya liat kecoklatan, tampang murah senyum dan juga kadang dingin -terutama ketika sedang menatap aksi di panggung Teater Arena.

Menuju rumahnya bagai menemukan oase karena sungguh begitu nyaman. Memangku jalan yang sepi, diseberangnya sawah begitu membentang, ada hutan bambu nampak di kejauhan, dan selokan berair bening dan sesekali bergemiricik menambah lokasi berikut rumahnya terasa damai, khas desa, dan sejuk.

Apalagi bangunan di sisi kiri rumah berupa pendhapa jadi menambah kesan lapang dan longgar, mirip pendapa TBS dalam ukuran yang lebih kecil. Sedangkan sisi kanan adalah rumah tinggal dengan kontur yang dibuat sedikit naik turun, permainan lantai keramik yang berbeda warna, posisi ruangan, gambar-gambar, termasuk pigura-foto kartunis Nasirun Purwokartun, juga ragam foto pernikahan Pak Wijang menawarkan aroma rumah seniman yang kental.
Sambil makan siang dengan menu yang beragam: pecel, sayur bobor, selirang pisang, kopi, teh, gorengan, air putih, wah lengkap, dan maknyus kami mengobrol ngalor ngidul, dan sejurus kemudian telah kususul dengan pertanyaan-pertanyaan wawancara.

Sebagai konfirmasi dari tulisan Mas Leak (Sosiawan Leak) bahwa pangkat belakang nama anda pemberian dari Sutarji Calzoum Bahri, benarkah? (dalam edisi Pawon terakhir keliru tertulis WS. Rendra)
Waktu itu saya diundang di TIM membacakan puisi yang judulnya lupa, disitu ada syair, ada kata maut, tapi kuucapkan dengan tekanan ma’ut gitu yang terasa sangat eksplosif mungkin ya di telinga para audience saat itu juga diantaranya Sutarji itu. Ma’ut, ma’ut, gitu jadinya kok bunyinya mantap tenan. Sedangkan Warek itu karena dulu saya suka sekali nongkrong di warung depan tepi jalan raya delanggu yang ramai, saya langganan disitu, warungnya bergaris-garis gitu, lorek-lorek, makanya digeser sedikit jadi warek, mantap kan. Dijadikan satu Wijang Warek Al Mauti. Bunyi di telinga jadi terasa magis, sangar, dan kuat!

Selain puisi pernahkah Mas Wijang menulis prosa?
Satu-satunya cerpen saya menjadi pemenang lomba di FKIP UNS, juara dua apa tiga ya, yang kemudian dimuat di Koran lokal Semarak, di Bengkulu.
Sedangkan novel, hahahaha (semua tertawa), novel saya berjudul: Nyanyian Kabut, Fragmen Perjalanan Cinta Seorang Seniman, yang picisan, hihihi.
Mas Wijang memanggil Mbak Nurni, istrinya, untuk mengambil manuskrip novel itu. Lalu berturut-turut kami: Bandung, Poetri, dan aku membolak-balik sekilas novel itu yang terasa nyamleng karena masih diketik dengan mesin ketik manual dengan judul besar-besar dari rugos! Huahahaha.
Kabut berkata: sudah menjadi takdir judulnya Nyanyian Kabut, eeee, takdirnya bertemu dan berkawan dengan Kabut (sapaan Bandung Mawardi) benar! Haha

Bisa ceritakan proses kreatif Mas Wijang, awal-awalnya?
Sejak akhir tahun 70-an, saya menggeluti dunia kesenian dengan berdeklamasi, bernyanyi dan bermain sandiwara di panggung-panggung acara kampung. Juga menyukai nonton film bioskop, pertunjukan kethoprak tobong dan wayang kulit purwa yang ada di kampung, bahkan sering menonton pertunjukan wayang sampai ke desa tetangga.
Ketika SMA sering menulis puisi untuk dideklamasikan pada acara-acara yang diselenggarakan di kampung. Selepas SMA, setelah menganggur dan kuliah setahun di Teknik Sipil UTP, mulailah tumbuh pemberontakan di diriku dan kuanggap dunia kesenian adalah wilayah merdeka yang bisa mewadahi gelora jiwa seni yang menggebu-gebu dan tak terbendung lagi. Akhirnya, aku pindah kuliah dan memilih menjadi mahasiswa Fakultas Sastra dan Filsafat, jurusan Sastra Indonesia UNS Solo 1984.
Mas Wijang mengaku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang keras. Kudu tertib, ora neko-neko, dan kudu mriyayeni. Maklum, konon Eyang-nya masih keturunan “darah biru”. Jadi, segalanya serba diatur dan apabila melakukan sesuatu harus perfect. Salah sedikit saja pasti dipala/dipukul. Bahkan, pilihannya untuk berpenampilan seniman dan gondrong sampai membuatnya ‘terusir’ dari rumah dan memilih kos di sekitar UNS.

Pas kuliah jiwa berkesenian lebih berkembang, ya?
Sejak di UNS saya mulai aktif menyaksikan pertunjukan sastra dan teater yang digelar di Solo juga mengikuti berbagai diskusi dan sarasehan. Semua demi menambah wawasan. Saat itu juga mulai doyan membaca buku-buku apa saja, terutama sastra, budaya, filsafat, dan politik, serta bergaul dengan berbagai kalangan seniman, budayawan dan networker kebudayaan.
Saya terlibat menggagas lahirnya beberapa kelompok kesenian seperti TESA-UNS (1987), Forum Penyair Muda Surakarta (1989), Forum Penyair Surakarta (1991), Kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (1993), Forum Penyair Jawa Tengah (1993), Forum Sastra Bengkulu (1993), Himpunan Pengarang Indonesia Aksara cabang Bengkulu (1994), Paguyuban Seniman Kreatif Bengkulu (1996), dan penerbitan buletin Pawon Sastra Surakarta (2007).
Pak Wijang, Kabut/Bandung Mawardi, Ridho Al Qodri, Poetri Hati Ningsih, Joko Sumantri, dan saya (Han Gagas) saat di Wisma Seni TBS melahirkan nama untuk sebuah buletin di Solo yang hingga kini terus berlanjut yaitu Pawon, yang sekarang dikoordinatori oleh Yudhi Herwibowo.

Sejarah karya-karya Mas Wijang?
Puisi, cerpen, esai, dan reportase budaya pernah dimuat di media massa antara lain: Republika, Swadesi, Warta Pramuka, Mitra, Suara Merdeka, Wawasan, Kompas Jawa Tengah, Bernas, Minggu Pagi, Semarak, Bengkulu Pos, Haluan, Taruna Baru, dan Riau Pos.
Sedang puisi-puisi pernah dibukukan dalam antologi bersama, seperti Dua Potret (FS UNS, 1987), Upacara Kamar (FKIP UNS, 1989), Pertemuan Pertama (Forum Penyair Muda Surakarta, 1989), Ekstase dalam Sketsa (Forum Penyair Muda Surakarta, 1991), Gelar Syair Mengalir (Unit Seni & Film, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1991), Mozaik 2 (Forum Penyair Surakarta, 1991), Panorama Dunia Keranda (Forum Penyair Surakarta, 1991), Temu Penyair dan Parade Puisi se Jawa Tengah (1993), Pesta Penyair Jawa Tengah (Forum Penyair Jawa Tengah, 1993), Kicau Kepodang 2 –Penyair Jawa Tengah- (Taman Budaya Jawa Tengah, 1993), Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP, 1993), Riak 3 (Forum Penyair Bengkulu, 1993), Monolog (Forum Sastra Bengkulu, 1994), Pusaran Waktu (Bengkel Puisi Jambi, 1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia (Lingkar Sastra Blitar, 1995), Bunga Rampai Dialog Budaya Parade Karya se Sumatera Jawa (Taman Budaya Bengkulu, 1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Jawa Tengah, 1995), Besurek (Taman Budaya Bengkulu, 1996), Puisi –Antologi Puisi Penyair se Sumatera- (Taman Budaya Jambi, 1996), Dari Bumi Lada –Temu Penyair Sumatera, Jawa, dan Bali- (Dewan Kesenian Lampung, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta, 1996), Puisi-puisi Dari Pulau Andalas (Taman Budaya Lampung, 1999), Ekstase Dzikir Putih –Aku Mabuk Engkau- dan Obituary Sebuah Negeri Tanpa Kemerdekaan (manuskrip tunggal, Forum Sastra Bengkulu, 1999), 18 Penyair Jawa Tengah: Proses Kreatif dan Karyanya (Taman Budaya Jawa Tengah, 2005), Tanah Pilih (Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi, 2008), dan Kenduri Puisi (Ombak, 2008).

Aktivitas diluar menulis puisi?
Saya beberapa kali menjadi pembicara dalam diskusi sastra, juri lomba baca puisi dan cipta sastra. Beberapa kali juara lomba baca puisi di berbagai kota. Selain itu, pernah menggeluti dunia teater dan terlibat dalam pementasan Dukun Tiban (1980), Samadi (1985), Dokter Gadungan (Moliere, 1988), Oemar Khayam (Harold Lamb, 1988), teatrikalisasi cerpen Maria (Putu Wijaya, 1988), Bom Waktu (N. Riantiarno, 1989), Gandrung Kecepit (1989), Klilip ing Medhang Kamulan (Wiswakarman, 1989), teatrikalisasi puisi Nyanyian Angsa (WS Rendra, 1990), Akal Bulus Scapin (Moliere, 1990), Oedipus di Kolonus (Sophokles, 1991), musikalisasi puisi Ekstase Dzikir Putih (Wijang Wharek AM, 1991 dan 1993), teatrikalisasi novel Masyithah (Rosihan Anwar, 1994), Airmata Gugat –kolaborasi puisi tari- (Wijang WAM, Intan HS, Iwan Gunawan, 1996), Kosong (Edi Ahmad, 1999), Neng-Nong (M. Udaya Syamsuddin, 1999), Sayembara Putri Gading Cempaka (Agus Setyanto, 1999), Song of Sang –kolaborasi puitik- (Wijang WAM, Sosiawan Leak, Max Baihaqi, Tria Vita Hendrajaya, 2004), pentas Novel “Wajah Sebuah Vagina” karya Naning Pranoto (alih teks Wijang WAM, 2005), pentas novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari (alih teks Wijang WAM, 2006).
Dalam catatan yang diberikan Mas Wijang pada saya masih banyak seabreg aktivitas berkeseniannya dibanding keterangan di atas.

Yang paling membanggakan?
Diundang DKJ dalam Mimbar Penyair Abad 21 tahun 1996. Kedua, diundang Perkampungan Penulis Melayu Serumpun (Daik Lingga, Kepri, 1999) yang diikuti oleh peserta dari Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.

Wijang Warek Al’Mauti juga membidani lahirnya gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman bersama Kusprihyanto Namma, Triyanto, dan Sosiawan Leak. Gerakan ini di dukung oleh Halim HD –seorang networker kebudayaan- sehingga membesar dan begitu banyak mendapat tanggapan baik dari dalam negeri bahkan juga para pakar luar negeri, yang juga menelitinya. Gerakan yang dimulai dari Solo ini merupakan perwujudan kegelisahan terhadap pusat sastra baik dari segi kota maupun media yang sering menghambat penulis baru.
Wijang menikah dengan Nurni dan dikaruniani dua orang putra bernama Raja Demokrat Sinar Jagad dan Raja Mahasakti Surya Bumi.
“Ada kalanya saya marah begitu keras dan ada kalanya saya mendekapnya demikian erat!” Ujar Mas Wijang ketika menyatakan perasaannya dalam mendidik anak-anaknya.

Setelah panjang lebar kami mengobrol, karena waktu yang menjelang sore akhirnya kami pamit pulang. Mbak Nurni yang berdarah minang menyilakan kami dengan lembut dan ramah begitu pula Mas Wijang mengantar kami hingga beranda dan tepi jalan. Kami bertiga menembus jalan desa lalu menyusur jalan menggilas jalur Solo-Jogja lagi.


Han Gagas, 28 Juli 2010

Share:

0 komentar