Rumah Danau, oleh: Widhi Hayu Setiarso


Aku jengkel dengan ayah. Ayah jahat. Ayah tak mau mengantar aku ke danau Banyu Bening. Padahal kan, aku pingin sekali ke sana. Apalagi kemarin Minggu, Reyna, Dita, dan Reno teman-temanku TK habis ke sana. Cuma aku yang belum pernah ke sana. Aku kan malu. Uh, waktu kami main bareng saat istirahat sekolah, aku hanya bisa melongo mendengar cerita mereka tentang air yang bening, perahu-perahu yang mengambang, gunung-gunung di kejauhan, burung-burung yang terbang merendah, juga rumah-rumah ikan yang ada di tengah. Ah, ayah tega sekali!
Memang, kemarin sepulang kerja ayah membawakanku sekeping VCD tentang danau, entah danau mana. Tapi kan beda menonton di televisi dengan menonton langsung dengan mata sendiri. Di VCD, aku kan tetap tak bisa merasakan embusan angin danau yang kata Reno sejuk sekali. Apalagi waktu naik perahu motor, uh enaknya, rambut kita seperti pecah, begitu Reyna menambah. Iya, betul, seperti di film Titanic, sahut Dita kemudian.
Selain meminta kepada ayah, aku juga sudah mengutarakan keinginanku kepada bunda. Tetapi, sembari membungkusi kue lapis yang akan dititipkan ke toko Babah Cong, bunda hanya berjanji, ”Nanti ya, Sayang, kalau ayah sudah gajian, kita pasti kesana. Sabar ya.”
Aku jadi malas bermain saat istirahat sekolah. Soalnya, tiap kali main bareng, teman-teman selalu kompak bercerita tentang danau. Seolah-olah, mereka memang sengaja mengejek aku. Ingin sekali aku menangis sekeras-kerasnya. Tapi kan malu, masak anak yang sudah sekolah masih menangis.
***
Aku tahu sesungguhnya ayah dan bunda sayang betul kepadaku. Sering kulihat wajah mereka bersedih tiap kali aku mengatakan keinginanku itu. Ah, barangkali mereka memang sedang tidak mempunyai uang. Soalnya kata bunda, danau Banyu Bening itu jauh sekali dari rumahku. Untuk sampai di sana kami harus berganti bus sebanyak empat kali. Dan itu artinya butuh uang yang banyak. Sementara tabungan ayah belumlah cukup.
Satu, dua, tiga, emm... aku lupa sudah berapa bulan kami bertiga, aku, ayah, dan bunda, tinggal di rumah baru kami ini. Yang jelas, beberapa hari setelah orang tuaku berbincang serius sekali dengan nenek, kami pindah ke kota ini. Sedih juga aku waktu itu. Soalnya, aku mesti berpisah dengan nenek juga sahabat-sahabatku: Dini, Fitri, Riski, Ridwan, dan Wahyu. Tapi kata ayah, ia harus bekerja di kota ini dan ia tak mau berpisah dengan aku dan bunda.
Di kota baruku ini, kami tinggal di rumah yang sempit. Lain dengan rumah nenek yang berhalaman luas dan banyak pohonnya. Di rumahku ini hanya ada dua ruang: satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Sementara dapurnya ada di luar, di beranda. Selain sempit, rumahku juga berdempetan dengan tiga rumah lain yang besarnya sama persis. Sementara di bawah ada empat rumah yang sama. Jadi bisa dibilang, rumah kami adalah bagian dari rumah besar yang dibagi jadi delapan, empat di bawah, empat lagi di atas.
Tapi kupikir aku masih beruntung tinggal di rumah yang berada di lantai dua. Aku bisa melihat bulan dan bintang-bintang dengan jelas. Sering sebelum tidur, ditemani ayah atau bunda aku melihat angkasa dari beranda. Bagus sekali. Tapi belakangan ini bulan bintang itu jarang tampak. Yang ada hanya langit hitam menakutkan. Dari beranda pula, aku bisa melihat pemandangan di jalan kecil tapi panjang yang melintang di bawah rumahku. Kalau siang jalan kecil yang diapit rumah-rumah itu jadi tempat bermain kakak-kakak tetanggaku yang sudah SD. Dari beranda juga, sering aku melihat Kak Nano menangis waktu dimandikan ibunya di sumur umum. Padahal dia anak yang nakal. Pernah dia membawa lari boneka peri kesayanganku. Untung saja ayah tahu dan memintanya kembali. Ah, aku kian yakin bahwa sesungguhnya ayah sayang betul kepadaku. Aku jadi malu kemarin-kemarin marah pada ayah. Tapi kan, aku benar-benar pingin jalan-jalan ke danau. Malah, aku pingin tinggal di rumah yang ada di tengah danau. Sepertinya enak...
Kadang-kadang aku jengkel juga dengan diriku sendiri. Sering sekali aku pingin sesuatu dan belum terpenuhi, aku sudah pingin yang lain. Misalnya suatu saat aku pingin permen cokelat, lalu ketika menonton iklan es krim di televisi, aku juga jadi pingin es krim. Keinginanku pun jadi dua: permen cokelat dan es krim. Begitu juga sesudah menonton VCD yang dibawakan ayah. Belum sempat sekadar jalan-jalan ke danau, aku sudah pingin tinggal di rumah yang ada di tengah danau seperti yang tampak dalam film itu. Sepertinya enak, membayangkan tiap pagi memberi makan ikan-ikan gendut yang kalau menganga mulutnya lucu sekali. Dan yang pasti aku jadi punya cerita ketika istirahat sekolah.
Ah, enaknya punya kawan peri. Peri yang baik hati, yang bisa mengabulkan apa saja yang kupinta. Waktu aku pingin terbang, ia ayunkan tongkat bintangnya. Dan, ”Cling!” terpasanglah sepasang sayap putih dan lembut di punggungku. Aku tinggal mengepak sesukaku: mengunjungi nenek atau pergi ke sekolah tanpa terjebak becek. Dan yang pasti aku akan pergi ke danau sekadar terbang mengitar sambil menyebar butiran-butiran pakan ikan, atau bahkan mengunjungi rumah-rumah danau satu persatu. Uh, senangnya bila bisa begitu....
Aku memang punya kawan peri. Dan ia juga memiliki sepasang sayap dan sebilah tongkat berujung bintang. Tetapi periku yang ini cuma boneka. Dia tak bisa memberiku apa-apa. Tetapi aku tetap sayang padanya. Dia kawan setia. Kami bersama-sama sejak masih tinggal di rumah nenek.
***
Bulu yang sangat halus seperti bulu si Cempluk, kucing Kak Nia. Terasa membelai-belai pipiku.
”Ih, geli! Siapa yang iseng?Aku kan ngantuk. Ini ayah, ya?”
”Bukan, Mela, ini bukan ayah, ini peri,” terdengar olehku suara wanita yang begitu lembut.
”Peri? Ah, tak mungkin. Kata ayah, itu kan hanya dalam dongeng.”
”Tidak, Sayang, aku bukan dongeng,” suara wanita itu terdengar lagi. Aku pun mengucek-ucek mataku. Astaga! Betulkah yang ada di depanku?
Wanita mungil, sebesar guling bayi, yang persis sekali dengan boneka periku itu tersenyum. Ia melayang. Sepasang sayapnya yang tampak lembut mengepak pelan. Bintang di ujung tongkatnya memancarkan cahaya tipis. Melihatnya, aku jadi bingung, sungguh bingung. Aku pun menengok ke sekeliling. Di sebelah kananku, ayah sedang mendekur keras sekali. Di sebelah kiriku, bunda tidur pulas. Dan boneka periku juga masih tergeletak diam di dekat kaki ayah.
”Lantas, kamu siapa?” tanyaku dengan suara pelan, takut membangunkan ayah dan bunda.
”Aku peri, Mela.”
”Itu, periku masih ada,” kataku.
”Aku peri yang kehilangan hutan, kehilangan rumah. Orang-orang jahat telah merusaknya, Mel. Mereka menganggap hutanku sebagai sekadar tumpukan kayu. Mereka hancurkan rumahku dengan gergaji bergigi tajam setajam taring raksasa. Mereka runtuhkan kampungku begitu saja.”
Uh, jahat sekali orang-orang itu. Pasti mereka belum pernah dimarahi Ibu Kepala Sekolah. Coba kalau pernah, pasti mereka tak akan berani. Si Rio, hanya karena memetik sehelai daun saja di taman sekolah, dimarahi sampai menangis, apalagi bila sampai merusak hutan.
“Lalu, Kakak Peri mau tinggal di mana?” tanyaku setelah menemukan panggilan yang menurutku tepat, “Kakak Peri”. Kupanggil ia “Kakak Peri” sebab setelah kuperhatikan, wajahnya masih semuda Kak Nia.
“Entahlah, Mel,” ujarnya dengan nada sedih. “Kalau boleh, aku ingin tinggal bersamamu, di rumahmu ini.”
Kasihan juga Kakak Peri. Ingin sekali aku menolongnya.
“Tapi, kau lihat sendiri, Kakak Peri, rumahku begini kecil. Dan belum tentu ayah dan bundaku setuju.”
“Aku bisa tinggal di balik plafon. Kau bisa memanggilku jika ingin bertemu.”
“Emm... tapi aku takut...”
“Tenang saja, kau bisa memanggilku dengan lagu, agar ayah dan bundamu tidak curiga.” Lalu peri itu bernyanyi.

Peri, Peri
kepakkan sayap, datanglah kemari
Peri, Peri
goyangkan tongkat, bebaskan mimpi

Aku senang mendengarnya. Suaranya merdu dan lagunya gampang kuingat.
“Bagaimana, setuju?” tanya Kakak Peri.
Aku mengangguk.
“Oh ya, kau pingin tinggal di rumah yang ada di tengah danau, bukan?”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
Setelah memejamkan mata sejenak, peri itu memutar-mutar tongkatnya dengan gerakan yang anggun. Lalu dengan agak menyentak, ia arahkan bintang di tongkatnya kepadaku. Seketika itu hanya cahaya putih-menyilaukan yang kulihat.
***
Tak tahu aku apa yang selanjutnya terjadi. Aku hanya terbangun oleh suara ayah dan bunda yang berbincang serius sekali, tampaknya dari arah beranda sekaligus dapur rumahku. Kudengar pula teriakan orang-orang dari luar rumah. Kenapa, ya? Jangan-jangan, orang-orang menangkap Kakak Peri lalu memasukkannya ke dalam kerangkeng seperti anak-anak kera di kebun binatang. Atau jangan-jangan.... Ah, lebih baik kulihat sendiri!
”Ada apa, Ayah?” tanyaku dengan agak deg-degan, ketika mencapai pintu.
Ayah merengkuh tubuhku, lalu menggendongku. Aku lega, tak kulihat pemandangan yang kutakutkan tadi. Malah, pemandangan di bawah sana membuatku girang sekali. Jalan kecil yang melintang di bawah rumahku penuh oleh air. Ah, ini pasti karena tongkat Kakak Peri. Tetapi, kenapa tak hanya rumahku saja yang ada di tengah danau? Kenapa rumah-rumah yang lain juga sama? Ah, barangkali saja yang pingin tinggal di tengah danau tak hanya aku. Lihat, kakak-kakak tetanggaku melonjak-lonjak senang sekali. Mereka berteriak-teriak, berenang, bermain air kian kemari. Mungkin, mereka juga habis bertemu dengan Kakak Peri. Tetapi, kenapa airnya berwarna cokelat, tak bening seperti kata kawan-kawanku tempo hari? Dan di mana ikan-ikannya? Ah, mungkin, karena masih muda, Kakak Peri belum begitu pintar.
”Ayah, aku juga pingin bermain di danau bawah sana,” kataku merajuk di dalam gendongan ayah.
”Danau?” tanya ayah heran lalu tersenyum.
”Jangan, Sayang, nanti kamu sakit. Kita menontonnya dari sini saja, ya?”
”Tapi, Yah, air di bawah sana kan juga untukku, bukan hanya untuk kakak-kakak itu. Semalam aku juga bertemu dengan Kak....” Ups, hampir saja aku kelepasan.
”Apa, Sayang?” tanya bunda, dengan suara lembut seperti biasanya. Sementara ayah kembali tersenyum.
”Ah, tidak. Tidak apa-apa, Bunda.”
Tapi aku juga merasa kasihan melihat Bik Sum, Mbak Rita, Tante Rini, Kek Man, Oom Philip, Mbah Di, sibuk menata barang-barang mereka di bawah sana. Pasti mereka takut barang-barang mereka jadi basah. Nek Marni, yang sudah lama sakit itu, juga kasihan. Ia menumpang di atas gerobak yang ditarik Pak Jo dan didorong Kak Ipan, entah hendak pergi ke mana. Oom Rudi juga terdengar mengeluh, sambil mengorek-ngorek sampah demi mencari boneka beruang milik si Rega, anaknya. Kulihat juga Doni, yang tinggal tepat di depan rumahku itu, menangis meraung-raung. Si Jalu, ayam kesayangannya, mati tenggelam di dalam kandangnya. Yang paling menakutkan adalah ketika terdengar kabar bahwa Kak Shinta terseret arus selokan. Karena yang terakhir, ayah segera turun, turut berlari bersama kakak-kakak pemuda ke arah selatan, setelah memindahkan diriku ke gendongan bunda.
Dalam gendongan bunda, aku tak tahu harus sedih atau gembira....
***
Seperti biasanya, bunda mendongeng untuk mengantar tidurku. Tetapi entah kenapa malam ini aku tidak mengantuk. Karena kasihan dengan bunda yang tampak capek sekali setelah sesore tadi begitu sibuk membantu para tetangga mengangkut dan menata barang-barang mereka di rumahku ini, aku pura-pura tertidur. Sebetulnya aku masih penasaran dengan akhir dari dongeng Si Kancil dan Putri Duyung. Tetapi tak apa, besok kan masih bisa. Biar bunda tidur saja. Sementara itu ayah tak tampak di rumah. Kata bunda ia sedang berjaga-jaga bersama kakak-kakak pemuda di luar sana.
Setelah kupikir-pikir, ternyata tinggal di tengah danau banyak tidak enaknya. Apalagi malam hari begini. Tetap dingin sekali meski aku sudah berselimut dan memeluk boneka periku. Lampu juga mati. Gelap. Yang ada hanya cahaya lilin yang bergoyang-goyang. Mau nonton film kartun tidak bisa. Mau berkaraoke lagu Cicak Temannya Katak juga tidak bisa. Yang menyanyi malah para nyamuk. Ih, suaranya juga berisik sekali, ngang-nging-ngang-nging saja!
Untung ini hari Minggu. Coba kalau Senin, Rabu, atau Kamis, pasti orang-orang yang mau pergi ke sekolah atau ke tempat kerja jadi susah sekali. Mereka harus menggulung celana atau rok dan menjinjing sepatu. Dan bunda pasti ikut susah waktu mengantar kue lapis ke toko Babah Cong dan mengantarku ke sekolah. Ayah juga jadi repot waktu berangkat kerja. Aku jadi kepikiran, bagaimana jika besok pagi keadaan tetap begini? Bagaimana pula jika air makin banyak, makin tinggi? Apakah barang yang rusak dan hilang makin banyak? Sekarang saja, rumahku sudah penuh dengan televisi, radio, kardus-kardus yang isinya entah apa, titipan para tetangga. Apakah nyamuk juga bertambah banyak? kata Bu Yayuk guruku TK, Nyamuk kan bisa mendatangkan penyakit. Wah, bisa-bisa banyak orang yang sakit seperti Nek Marni. Lantas bagaimana dengan anak-anak kecil? Jangan-jangan kian banyak yang terbawa arus seperti yang dialami Kak Shinta pagi tadi. Untung saja ia selamat. Kata ayah ia cuma lecet-lecet. Tapi bagaimana coba kalau banyak anak kecil yang terseret arus dan tak bisa kembali? Ah, pasti ayah dan bunda mereka jadi sangat sedih.
Membayangkan itu semua aku jadi takut sekali. Ternyata ulahku dan Kakak Peri bisa membuat orang-orang jadi susah. Aku ingat, Bu Yayuk pernah berkata bahwa orang yang suka menyusahkan adalah anak nakal, dan anak nakal tidak disukai Tuhan. Ah, aku tak mau jadi anak yang seperti itu.
Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kampungku seperti semula adalah dengan memanggil Kakak Peri dengan lagu yang diajarkannya. Mula-mula suara kubuat pelan sekali, takut membangunkan bunda. Tetapi Kakak Peri tidak muncul. Suara kubuat agak keras, Kakak Peri tidak juga datang. Kutambah keras lagi, tetap tak ada jawaban. Aku tak tahu harus bagaimana lagi selain menangis.
Tak tahu pula kenapa tiba-tiba saja tanganku menggoyang-goyangkan lengan bunda, sementara mulutku memanggil-manggilnya,
”Bunda, Bunda.” Sambil mengedip-ngedipkan matanya, barangkali karena masih mengantuk, bunda bertanya kepadaku,
”Lhoh, Sayang, kenapa menangis?” Aku hanya menggeleng.
Bunda lalu bangkit dari tidurnya, duduk di kasur dan mengelus kepalaku.
”Kenapa, Sayang?” tanya bunda lagi.
Setelah beberapa saat hanya diam dan sesenggukan, akhirnya aku berkata juga, ”Bunda, Bunda jangan marah, ya?”
”Tidak, Sayang. Kenapa?”
”Bunda, air di bawah sana itu karena ulahku dan Kakak Peri. Dia kubiarkan mengayunkan tongkatnya hingga kampung kita pindah ke tengah danau.”
Bunda malah tersenyum. Aku jadi bingung.
”Sayang, Kakak Peri itu tak ada. Ia hanya ada dalam dongeng. Barangkali kau hanya bermimpi. Dan ini bukan salahmu. Ini namanya banjir. Banjir itu gara-gara pohon-pohon ditebang dan sampah yang dibuang sembarangan. Nah, kamu harus berjanji tidak akan membuang sampah sembarangan. Bagaimana, janji?”
Aku mengangguk, meski tidak tahu benar hubungan sampah, pohon, dan banjir. Sementara itu, sayup-sayup, dari balik plafon aku mendengar nyanyian.

Anak baik, untukmu aku datang
Untukmu pula kubiarkan mimpi jadi kenyataan

Penulis:
Nama: Widhi Hayu Setiarso.
Alamat: Jl. Karangrejo No. 35, Salatiga 50743, Jawa Tengah
Email: widhi_setiahayu@yahoo.co.id

Share:

0 komentar