Wates dan Sastra “Gado-Gado”, oleh Marwanto




Wates, kota kecil nan sepi di wilayah Kabupaten Kulonprogo (sekitar 30 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta) itu, mungkin tak membayangkan bakal didatangi sejumlah sastrawan kondang negeri ini. Namun, demikianlah yang terjadi pada Minggu, 13/01/08. Dua komunitas sastra di kabupaten tersebut, yakni Lumbung Aksara (LA) dan Sanggar Seni-Sastra Kulonprogo (Sangsisaku) menggelar helat: Temu Sastra Tiga Kota (Purworejo, Kulonprogo, Yogyakarta).

Even sastra sebesar itu memang baru pertama kali digelar di Wates –-sebuah wilayah yang (dalam peta sastra di tanah air) notabene jarang disinggung. Meski begitu, kemeriahan temu sastra yang berlangsung di wilayah pinggiran tersebut tak bisa dibendung. Sejumlah penulis (sastrawan) yang diundang dan dijadualkan tampil (baik untuk berdiskusi maupun membacakan karya) benar-benar memenuhi undangan panitia. Dari catatan buku tamu, sekitar 30 sastrawan/ penulis (tentu dari yang paling senior/kondang sampai yang baru berperan di tingkat lokal/yunior) dan 59 tamu undangan (meliputi pejabat, guru, wartawan serta penikmat dan peneliti sastra) memenuhi aula gedung PCNU Kulonprogo, tempat dilangsungkannya acara.

Dan acara itu memang berlangsung sejak pagi, ketika matahari belum begitu tinggi. Kira-kira baru jam tujuh lebih tigapuluh lima menit, saat Bambang Nur Singgih (sastrawan Yogya yang sering menulis geguritan) menyapa panitia. Ya, ia memang tercatat sebagai peserta dari luar Kulonprogo yang hadir perdana. Kemudian disusul rombongan dari Puworejo, yang datang dalam satu mobil. Mereka, mulai dari yang senior (se-angkatan Umbu Landu Paranggi) yakni Atas Danusubroto, Soekoso DM, Maskun Artha, sampai Supardi AR dan sejumlah penulis muda lainnya. Dan yang mengejutkan, sebelum para sastrawan dari Yogya berdatangan, hadir di kota kecil itu –-dengan ngojek sepeda motor–- seorang peneliti sastra dari Jepang, yakni Shiho Sawai.

Setelah itu, baru bermunculan sastrawan Yogya, berturut-turut: Evi Idawati, Iman Budhi Santosa, Aguk Irawan MN, Mahwi Air Tawar, St. Suryani, Lephen P, Indrian Koto, dan Mutia Sukma. Hadir pula Joko Sumantri (Pawon Solo), Latief Noor Rochman (Minggu Pagi Yogya) dan sejumlah wartawan. Sementara Koh Hwat, Joni Ariadinata dan Raudal Tanjung Banua datang setelah rehat siang. Dari pihak sohibul bait (tuan rumah), tampak: Ki Soegiyono MS, Papi Sadewa, Dhanu Priyo, A. Legiyo, Joko Budhiarto, Marwanto, Samsul Ma’arif, Nur Widodo, Didik Komaidi, Siti Masitoh, AriZur, Ndari, Zukhruf Latif, Fathin Chamama, Fajar R. Ayuningtyas, Wening Wahyuningsih, dll.

Genderang “perang” sastrawan dari tiga penjuru mulai ditabuh, sesaat setelah ketua panitia (Papi Sadewa) dan Kepala Dinas Kebudayaan & Pariwisata (Disbudpar) Kulonprogo Drs. Bambang Pidegso M.Si memberi sambutan. Diawali dengan musik pembuka, oleh grup Padhang mBulan (yang tampil dengan gabungan alat musik modern dan tradisional). Setelah itu satu persatu para sastrawan tampil membacakan karyanya.

Tentu tak semua sastrawan yang hadir memperoleh kesempatan tampil, oleh sebab terbatasnya waktu. Meski hanya sekitar 20 sastrawan yang “berlaga”, di panggung berukuran 3 x 3 meter itu bagaimanapun telah tersuguh baragam warna. Ada pembacaan puisi, geguritan, cerpen, dan diskusi (sharing).

Pada sesi diskusi, yang tampil adalah Shiho Sawai, Joko Sumantri, Iman Budhi Santosa, dan Soekoso DM dengan dipandu Samsul Ma’arif. Karena tak ada freme yang ketat dari panitia soal arah diskusi, maka tiap pembicara dipersilahkan mengemukakan pendapatnya secara bebas, tapi berkaitan dengan acara yang berlangsung pada hari itu.

Iman Budhi Santosa, penyair senior Yogyakarta mengemukakan: “Inilah untuk pertama kali saya saksikan sastra Jawa (geguitan) mampu bersanding dengan sastra Indonesia (puisi dan cerpen) dalam satu panggung secara apik”. Sedang Joko Sumantri menganggap positif acara temu sastra tiga kota.

Sementara bagi Shiho Sawai, yang menarik dari temu sastra ini adalah beragamnya peserta yang hadir. “Saya telah menghadiri berbagai acara sastra di Yogya dan kota lain di Jawa. Umumnya yang datang para mahasiswa (orang terpelajar). Namun pada acara kali ini, saya menyaksikan lain. Acara ini dihadiri banyak lapisan masyarakat. Acara sastra yang dihadiri orang-orang biasa (non-pelajar) seperti ini jarang saya temui di daerah lain”.

Shiho tak berlebihan. Perhelatan itu sendiri memang digagas atas dasar kerinduan untuk bertemu, lalu menikmati karya, kemudian saling belajar –bagi semua penulis di tiga kota antar generasi tanpa seleksi yang ketat. Dari sini mungkin acara tersebut mendapati titik lemahnya. Seorang penyair muda potensisal dari Yogya, Indrian Koto, seusai mengikuti acara langsung memberi catatan di blog pribadinya (kuli pelabuhan): “Kawan-kawan yang baru dalam tahap ‘belajar’ lebih menarik berada di posisi penikmat. Mereka bukan tak boleh tampil, tapi mesti ada penyeleksian agar terasa adanya semacam persaingan.”

Mungkin gagasan panitia beda dengan idealisme Indrian. Juga, kelemahan di mata Indrian, menjadi kelebihan dalam amatan Shiho. Alhasil, acara itu berlangsung penuh warna alias amat plural bin gado-gado. Kerendahatian para sastrawan yang, katakanlah, bertaraf nasional untuk enjoy duduk dan bincang bareng penulis “katrok” dan “lokal” patut diberi apresiasi. Kita tentu ingat cerita ini: dulu A.A. Navis tidak mau duduk sebangku dengan cerpenis Harris Effendi Thahhar, hanya karena karya Haris belum ada yang dimuat media nasional. Era seperti itu lambat laun mulai ditinggalkan.

Acara yang berlangsung hingga sore itu ditutup pembacaan puisi oleh Joni Ariadinata –-ia membacakan puisi karya Hasta Indriyana yang berhalangan hadir. Sebelum pulang, terlihat pancaran mata dari peserta seakan penuh harap kemeriahan acara ini akan terulang lagi. Tapi mungkin tepat apa yang dikatakan Soekoso DM pada sesi diskusi: “Karena sastrawan beserta komunitasnya bukanlah organisasi pemerintah atau parpol, biarlah acara seperti ini berlangsung alami. Jangan dijadwal atau diagendakan secara resmi !”.

Marwanto, koordinator Komunitas Lumbung Aksara (LA) Kulonprogo.

Tags:

Share:

1 komentar