Pengarang Perempuan dan Sastra Transformatif, oleh David Krisna Alka


Hal-hal mengenai perempuan memang tak kunjung surut untuk “dikupas.” Daya tarik perempuan banyak menghiasi ruang-ruang dalam kehidupan dunia ini, terutama dalam ruang seni dan budaya. Salah satunya adalah ruang kreatifitas perempuan dalam menulis karya sastra.

Sebelumnya, peran perempuan banyak diandalkan dalam urusan keluarga, tetapi kini peran mereka mulai bergeser kepada peran-peran baru di luar keluarga. Peran tradisional perempuan itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Peran perempuan telah banyak mengalami perubahan. Perempuan merasa bahwa mereka telah menyadari akan kewajiban untuk berbuat sesuatu sejauh yang memungkinkan untuk kesejahteraan, kemakmuran, serta kemajuan masyarakat. Dan, perempuan sebagaimana pria, kini juga mampu melaksanakan peranan intelektual.

Menurut Moeslim Abdurrahaman (2004), peran perempuan sebaiknya dipahami sebagai bagian dari aktor yang menjalankan proses untuk menciptakan sejarah. Karena, budaya adalah hasil reproduksi dan rekonstruksi. Dalam hal ini, pesona kreatif perempuan memiliki kekuatan transformatif dan transendensi yang mampu merubah kultur. Seperti yang diketahui, terdapat beberapa kelompok yang mampu mengubah masyarakat dan bangsa, yaitu pimpinan kharismatik, politisi dan tokoh intelektual. Namun demikian, terdapat sekelompok masyarakat dalam kehidupan rutin yang mampu membangun kehidupan mereka sebagaimana mereka menghidupi hidupnya sendiri. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan oleh kekuatan kreatif perempuan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk diterima masyarakat luas, sehingga perubahan dapat terjadi pada seluruh segmen dalam masyarakat.

Tema Sastra Transformatif

Berkaitan dengan pesona kreatif perempuan untuk perubahan, dalam wilayah penulisan karya sastra kontomporer saat ini, peran pengarang perempuan telah mendapat “acungan jempol” dan respon yang mengagumkan dari berbagai kalangan. Sapardi Djoko Darmono dalam komentarnya tentang pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 lalu mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan. Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 itu menghasilkan pemenang pertama hingga ketiganya adalah perempuan.

Selain itu, nama-nama pengarang perempuan seperti, Djenar Maesa Ayu, Pipiet Senja, Asma Nadia, Helvi Tyana Rosa, Ayu Utami, dan Linda Christianty, sudah tak asing lagi bagi penikmat sastra di negeri ini. Mereka adalah sebagian dari pengarang perempuan yang menjadi ikon baru bagi pengarang pemula perempuan. Bagi kalangan pembaca fiksi remaja, nama-nama seperti, Icha Rahmanti dengan novel Cintapuccino, Rachmania Arunita dengan Eifel...I’m ini love, Eliza V. Handayanai dengan Area X: Hymne Angkasa Raya, telah turut pula menjadi idola baru bagi perempuan penikmat sastra di Indonesia. Geliat perempuan menulis fiksi akhir-akhir ini tampaknya akan merangsang gairah penulis-penulis baru untuk kembali unjuk gigi.

Namun sayang, tema-tema yang diusung oleh generasi baru penulis fiksi perempuan itu mestinya mengusung tema-tema yang memiliki kekuatan transformatif yang mencerdaskan, mencerahkan serta menyentuh kemanusiaan. Bukan tema-tema yang elitis dan hedonis layaknya cerita dalam sinetron dan telenovela.

Dari situ, dalam konteks kekuatan kreatif perempuan menulis fiksi, perubahan pesona kreatif yang disebutkan Moeslim Abdurrahman itu, dalam segmen penulis perempuan kini memang telah terjadi, tetapi belum mampu merubah mind set tentang kesadaran penulis perempuan terhadap persoalan kemanusiaan, misalnya tentang kesetaraan. Pada tataran ide dan isi, karya fiksi perempuan yang banyak muncul saat ini belum melakukan transformasi terhadap karya mereka. Tema-tema novel yang terpampang di rak-rak toko buku masih berkutat pada wilayah-wilyah “anak gaul” disebabkan karena pengarang mendahulukan kepentingan pasar, belum mengarah kepada kepentingan untuk menyadarkan.

Walaupun revolusi kaum perempuan tidak sempurna, namun telah berjalan jauh membawa pemikiran-pemikiran pencerahan tentang kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Lewat mengarang buku-buku fiksi, perempuan sebenarnya mampu menjalankan fungsinya sebagai “manusia.” Melalui sentuhan-sentuhan langsung dengan realitas, perempuan diharapkan mampu mencegah perang-perang besar yang membinasakan umat manusia dengan adanya kediktatotan teroristis, mencegah bencanan masa depan, seperti kelaparan. Oleh karena itu, peran perempuan penulis fiksi hendaknya tidak hanya bermain dalam dunia mereka saja.

Dari kacamata psikologi, Erich Fromm mengungkapkan, meskipun dunia sudah terlanjur menjadi wajah maskulin, bukan berarti perempuan tidak mampu mengubah wajah dunia dengan kekuatan yang mereka miliki. Konsep dasar kekuatan perempuan adalah nilai kehidupan, kesatuan dan kedamaian. Perempuan memberikan seluruh anugerah dan imanjinasi yang dimilikinya untuk dapat melindungi dan menghias eksistensi manusia yang lain. Prinsipnya adalah universalitas, berlawanan dengan prinsip laki-laki, yaitu pembatasan-pembatasan.

Konsep persaudaraan laki-laki berakar pada konsep keibuan, tetapi menghilang seiring perkembangan masyarakat patriarkal. Berbeda dengan perempuan yang matriarkal, karena basis dari prinsip perempuan adalah kebebasan universal dan kesetaraan, damai, dan kemanusiaan yang lembut. Dan, perempuan juga merupakan basis kepedulian prinsipil terhadap kesejahteraan materi dan kebahagiaan.
***

Menulis karya sastra seperti novel, bukanlah kreatifitas yang sekali duduk langsung jadi, menulisnya penuh pergulatan yang intens terhadap rasa bahasa yang memperbincangkan realitas kehidupan dengan pengarang. Penulis fiksi itu harus mampu menafsirkan kehidupan secara jitu. Karya fiksi, bukanlah sekedar seni yang menjiplak kembali alam kehidupan.

Nadine Gordimer, penulis perempuan terkemuka peraih Hadiah Nobel Sastra 1991 mengungkapkan, jika dilihat dari karya yang ditulis, penulis fiksi itu sendiri sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang fiktif. Oleh mereka, kesusastraan menjadi penyamaran usang yang senantiasa ditelanjangi dengan senang hati; sebuah praktik kanibalisme intelektual yang dipertunjukkan. Imajinasi seorang penulis adalah barang jajahan yang diambil dari kehidupan orang lain.

Sejatinya, generasi baru yang perempuan dalam menulis karya fiksi di Indonesia, diharap akan menetaskan pengarang-pengarang yang menjadi dirinya sendiri bukan karena ikut-ikutan atas dasar komersialisasi, tapi atas dasar kreatifitas yang mumpuni. Karya fiksi mereka hendaknya dapat melakukan dekonstruksi citraan dan imaji melalui sikap keberpihakan kepada kemanusiaan dan mampu menjawab pertanyaan, bagaiamana karya fiksi mendapat tempat dalam perjuangan umat manusia?

Oleh karena itu, hari ini dan nanti, kita masih menunggu ciptaan-ciptaan kesusastraan yang lebih besar, yang memberikan kesadaran bahwa betapa penting arti sebuah karya sastra yang mencerahkan dan mencerdaskan bagi masyarakat bangsa kita yang mengalami keterbelakangan. Karenanya, kita perlu karya sastra yang transformatif dan menggugah kesadaran kolektif kita untuk berjuang melawan ketidakadilan.

David Krisna Alka
Ketua Al-Maun Poetry Society, dan bergiat di Akademi Kebudayaan Rakyat (AKAR) serta tercatat sebagai salah satu pendiri Koperasi Seniman Indonesia (KSI). Selain itu, pengasuh kolom budaya Jurnal Moderat. Menulis opini dan Esai sastra di Sinar Harapan, Republika, Media Indonesia,dll. Karya puisi di Kaki Langit Horison (1997), Antologi Bung Hatta dalam Puisi (2002), Buku Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (2003) dan di media massa nasional.

Tags:

Share:

0 komentar