Laporan Pertama Seorang Distributor Bodoh, oleh Indrian Koto


Salam,

Saya ingin membikin laporan singkat soal nasib buletin Pawon sastra yang dikirim ke Yogya edisi Januari lalu. Karena belum ada kesepakatan apa pun sebelumnya dan saya merasa sayang juga kiriman Pawon sebanyak itu harus dibagikan dnegan gratis ke kawan-kawan, maka saya berkehendak mencoba membantu mendistribusikannya dulu sebelum dibagikan. Saya sempat meminta izin kawan Joxum sebelumnya dan memberitakan perihal itu. kawan Joxum emberi restu maka jadilah saya mencoba menawarkan pawon ke orang-orang.

Setiap eksemplar Pawon saya jual 2000 sesuai dengan harga di label. Sementara buku-buku Gerilya Peradaban saya jual seribuan (sesuai mottonya dan bentuk promosi – begitu pikirku). Selain itu bagi mereka yang membeli Pawon, saya memberi gratis juga satu-dua buku (juga pawon edisi lain) pada mereka. ini ajang coba-coba, pikir saya. Lagi pula kawan Joxum ingin memberi gratis dans aya sekarang hanya mencari biaya untuk ongkos kirim.

Bang Raudal orang pertama yang saya sodori Pawon. Satu edisi 2000, kata saya. Tak boleh membeli satu edisi saja. Lalu ia mencari beberapa edisi Pawon yang belum dimilikinya. Ia mengambil 3 edisi Pawon, lalu ia memilih seri buku seribuan. Ia mengambil empat. 10 ribu pas. “Wah, yang ini saya juga belum punya.” Katanya ketika melihat buku-buku tersebut. Lalu saya serahkan buku yang belum dimilikinya itu. “Bonus pertama untuk pelanggan pertama,” kataku.

Setelah itu saya datangi Muhidin M. Dahlan. Laki-laki itu terkantuk-kantuk di depan tivi kantornya di daerah Patehan. “Gus, beli buku saya, Gus. Murah. Cuma seribu dan dua ribu.” Kataku sambil mengeluarkan tas.

“Mana bukumu.” Katanya masihd engan kantuk. “Ada berapa biji?” sambungnya pula.

“Gus Muh punya uang berapa dulu.” Kataku. “Pembelian minimal 10 ribu, kalau tidak tak usah beli bukuku.” Kataku pula. Aku tahu bercanda jenis ini sudah biasa di sini.

Ia mengeluarkan uang dari kantong bajunya. Uang sepuluhan ribu dan lembar ribuan. “Adalah, kalau segitu. Tapi jangan buku-buku porno.” Katanya.

“Aku keluarkan Pawon. Untuk Buletin 2000, buku-buku puisi dan cerpen seribu.”

“Murah sekali. Kau tak rugi.” Katanya sambil memilah-milah buku itu.

“Alah, tak usah diacak. Ini, ini, ini, ini. nah hitungs ekarang.” Kataku. Dia menghitung. Empat edisi Pawon sastra. Lalu dua buku antologi. “Sudah sepuluh ribu ya?” tanyanya sedih.

“Yup. Tapi aku kasih gratis nih beberapa buku. Nambah koleksi.” Kataku sambil mengulurkan beberapa buku Gerilya Peradaban yang belum dimilikinya.

“Gak terlalu banyak untuk uang sepuluh ribu?” Tanyanya.

“Cerewet.” Kataku. Lalu An Ismanto lewat . “Hei, beli bukuku. 2000!” Panggilku. Gusmuh segera menarik Ismanto. “Jangan terayu,” katanya. “Ini aku sudah beli.”

Sialan.

Lalu berikutnya saya menjual buku pada seorang tamu yang datang ke Sewon suatu malam. Mereka datang dari Cilacap. Ia direkomendasikan Pak Tohari katanya untuk meminta buku penerbit Akar dan beberapa penerbit lain di Yogya untuk menitipkan buku di acara bazar buku. Sambil menunggu Bang Raudal kami bercakap-cakap. Aduh, aku lupa namanya.

Dia membolak-balik Pawon yang ada di meja. “Wah, saya pengen membeli buku ini. dijual di mana ya?” Katanya sambil menunjuk buku Samin terbutan Gerilya Peradaban. “Saya embacanya di Jurnal Boemi Poetra.” Katanya pula.

“Oh, ya.” Nah, aku tahu inilah saat yang tepat untuk membujuknya. “Jadi Pawon belum asukke Cilacap to? Bla.. la.. bla.. kawan-kawan boleh mengirim ke sini lo. Bla.. bla.. bla.. dan ini bisa menjadi pertemuan kreatif antar daerah.. bla..bla..bla.. saling membantulah. Masing-masing daerah bukan tidak mungkinlah akan menerbitkan media sejenis ini.. bla..bla.. bla.. nah, kalau berminat jadi distributor itu baik. Ngirim tulisan itu juga baik.. bla.. bla.. dua ribu saja. Bla.. bla.. wah, jangan beli satu. Sayang, tiga atau empatlah!”

Lalu, ia mengeluarkan receh ribuannya. Anak pondok nih, pikirku. Ia meminta kawannya untuk mengeluarkan uang dari kantong mereka. Delapan ribu, untuk isi kantong dua orang. Wah, kasihan.pikirku. Maka niat semula menjual buku ke mereka, dari delapan ribu aku memberikan dua edisi tambahan padanya dengan pertimbangan lain, kesiapannya membantu penjualan, kawan-kawan di sana bisa berpartisipasi mengirimkan karyanya juga ke Pawon dan bentuk promosi juga.

“Bisakah mereka menerbitkan buku?”

“Bisa saja. Perhitungannya tentu bisa hubungi redaksinya. Saya orang baru. yang pasti kami bisa mengirimkan buku-buku Pawon ke Cilacap, bukan?” Kataku pula.

“Tentu saja. Kami akan bantu distribusinya.” Dan edisi Februari ini saya baca ada tulisan dari Cilacap. Saya menduga mungkin ini dari salah seorang mereka (atau dia yang semalam merelakan delapan ribunya untuk saya?) yang mengirimkan naskah. Apakah dia menghubungi redaksi untuk distribusi? Saya tak mengerti.

Sasaran berikutnya dalah M. Arman AZ, cerpenis Lampung yang singgah di Yogya sepulang dari acara KSI. Kami sudah lama kenal nama. Kudatangi ia di penginapannya dan setelah bla.. bla.. bla.. ia mengeluarkan kocek 20.000 untuk beberapa buku Pawon.

“Kalau memang seperti katamu, kirimkan saja Pawon ke Lampung, saya siap membantu distribusinya. Cuma dua ribuankan? Bisa habislah sekitar sepuluh eksemplar. Tinggal dibagi-bagi ke Bang Is (Isbedy, maksudnya) Inggit, Lupita dan penulis-penulis lain. oke ya ditunggu kirimannya.”

Setelah itu aku malu juga. masa baru ketemu sudah jualan Pawon sastra? Tapi tak mengapa. Lalu kami datang pula ke penginapan kawan-kawan dari Kal-sel. Rame di sini, nih. Aku ditarik Abah Arsad Indradi, ngobroool… ada mas Agus Suseno juga. yang lain juga. lalu seorang kawan dari Jurnal WATAS bercerita soal distribusi mereka. Watas, katanya, saya harapkan menjadi sebuah media alternatif yang menampung karya-karya dari seluruh Indonesia.. bla..la..bla.. untuk penjualan masih payah.. jadi.. bla.. bla.. Oh, distribusi Pawon? Tentu saja. Kemarin saya borong Pawon di Kudus 15 Eksemplar. Sempat bicara dnegan Joko juga. bla.. bla.. bla.. Ya, gak apa-apa. kami siap menjualkan Pawon di sana. Kami punya toko buku kecil.. bla.. bla.. bla.. hahah.. tentu saja,. Benar juga. distribusi silang ya? bla..bla..” Katanya sepanjangh malam itu.

Wuih.. aku capek menuliskannya, saudara redaksi.

Dan begitulah nasib buku-buku kiriman Pawon tersebut. Hanya itu yang terjual, tapi edisi Januari yang dikirim sepuluh biji pertama itu habis sudah. Sebagian saya berikan juga ke kawan-kawan yang berniat beli tapi tak punya uang. Saya berikan juga ke beberapa kawan, termasuk Sunlie. Dalam beberapa acara di Yogya saya sempat juga membagikan ke beberapa kawan yang betul-betul belum kenal Pawon sastra.

Lalu Pawon yang saya ambil dari Solo nih yangs epuluh biji itu laku terjual empat biji pula. Di beli kawna-kawan Poetika. Saya membawa Pawon waktu rapat dan memaksa mereka membelinya. Uang penjualan itu kami habiskan pula untuk membayar kopi. Maka jadilah dari 56 ribu yang mestinya masuk ke rekening redaksi hanya dikirim 50 ribu saja.

Adanya beberapa kesempatan untuk membangun jaringan dan distribusi di beberapa daerah, seperti Lampung, Cilacap dan kalimantan Selatan tadi. Beberapa kota lain, bisa saya coba menghubungi kawan-kawan di sana pula. Seperti Padang dan Kendari misalnya. Semua itu tentu akan bisa terlaksana sesuai setelah ada keputusan redaksional. Untuk kontak mereka, saya bisa bantu atau Pawon sendiri yang akan berkomunikasi langsung dengan mereka. dnegan begitu mungkin edisi Pawon selanjutnya bisa mulai melear di beberapa daerah.

Sebenarnya ada banyak hal juga yangs aya ingin obrolkan dnegan kawan-kawan redaksi untuk Pawon. Semacam masukan atau apalah anamnya. Aku sok tahu betul nih. Saya Cuma ingin Pawon jangan mati dulu. Ia selalu hidup meskipun Tuan Kabut dan kawan Ridho sudah gak ada, misalnya. Amin!Haha… ah, raasnya saya mulai memiliki Pawon meski hanya sekedar omong-omong macam begini. Dan tentu siapa pun akan merasa memiliki pula, ketika media mapan sudah tak bisa diharapkan. Pawon akan dilirik, itu ingin saya. Menjadi sebuah media untuk kawan-kawan yang jenuh dengan koran. Jadi ia bukan hanya untuk pemula dan ‘tong sampah’ juga. maka saya minta redaksi menampilkan karya-karya para penulis yang mungkin namanya sudah dikenal. Bukan apa-apa. maksudnya bahwa Pawon adalah media buat semua, untuk jenis pengarang siapa saja. Dengan arti kata, Pawon milik semua bukan melulu ruang pemula. Atau apalah bahasanya.

Oh ya, untuk ke-40 eksemplar Pawon yang dikirim bulan Februari ini, saya berniat menitipkan di beberapa tempat ngopi. Ini baru rencana, sebab sampai surat ini saya saya tulis itu basih sebatas wacana saya. Saya merencanakan menitipkan lima eksemplar Pawon di (setidaknya) lima titik. Dengan demikian kawan-kawan redaksi dan saya sedang menguji angka penjualan di tiap titik setiap bulan. Agenda semacam ini tentu belum bisa dilihat hasilnya sekali jalan. Mungkin tiga atau empat bulan mendatang kita bisa melihat perkembangannya. Dan kita berharap di tiap titik jumlah peminatnya terus bertambah dan semakin banyak pula naskah yang masuk ke redaksi hendaknya.

Kemudian saya juga ingin masuk ke RRI Pro 2 Yogyakarta yang setiap Kamis malam punya acara Puisi Pro. Di acara ini para pendengar berpartisipasi membacakan puisi-puisi mereka. nah, rencananya aku ingin melobi radio ini untuk bekerja sama dnegan kita memilih dua puisi terbaik untuk kita beri hadiah lima buku. Masing-masing mendapat lima Pawon + Buku Terbitan Gerilya Peradaban. Dengan itu pula jika ada yang tertarik dengan Pawon Sastra mereka bisa memesannya langsung ke saya. Bentuk seperti ini saya pikir –setidaknya untuk sebuah awal – bisa membantu penjualan dan promosi Pawon di Yogyakarta. Tentu ini harus menunggu kesepakatan kawan-kawan redaksi terlebih dahulu. Apakah agendanya itu setiap minggu kita memberi hadiah, tentu dengan mengurangi jumlah hadiah (mungkin Pawon + beberap terbitan lain dari penerbit yangs ama) atau sebulan sekali setiap kali Pawon terbit.

Teknisnya begini, setiap minggu acara ini diikuti oleh para penulis muda di Yogya dan sekitarnya, juga Kulon Progo. Mereka juga punya Komunitas Pecinta Puisi Pro (KPP). Dengan ini, setidaknya sebulan sekali, kita bisa promosi Pawon dengan cara semacam ini. sekaligus saya mau menginformasikan agenda Kemah Sastra nanti itu. untuk sekolah rencananya minggu ini saya mau masuk ke sekolah Taman Siswa. Di sana, ada kawan yang sudah minta untuk membantu distribusi. Dia minta sebanyak 12 eksemplar. Aku menawarkan ini ke kawan-kawan, setidaknya untuk tiga bulan ke depan di Yogyakarta ada sosialisasi semacam ini. mungkin sebulan sekali.

In hanya tawaran saja. Jika kawan-kawan merasa keberatan tidak masalah. Aggap ini sebuah ambisi tak terkendali belaka. Tapi saya ingin Pawon juga bena-benar mulai masuk ke kantong-kantong sastra di daerah. Saya Cuma punya rencana dan membantud negan cara semacam ini. jika ini terlalu knyol maka maafkanlah. Dan untuk tawaranku distribusi ke daerah-daerah, mengirimkan beberapa eksemplar Pawon ke beberapa wilayah yang aku maksud di atas tadi barangkali bisa dipertimbangkan.

Benar saja. Saya menambahkan tulisan ini setelah saya pulang dari RRI. Rencana pemberian 5 eksemplar untuk dua pusi terbaik diperbaharui. Satu orang setiap minggu dan mendapat tiga buku pawon dan satu jurnal dari bali, Jurnal Sundih. Setidaknya saya ingin ini berjalan sampai sebulan ke depan. Dengan demikian kita masih bias berpromosi dengan cara membarter tiga Pawon tiap mingggu. Dan sisia Pawon kemarin rencananya akans aya gunakan dulu untuk itu. Dan untuk ini pula saya perlu memberitahukan kepada kawan-kawan redaksi gimana baiknya. Karena saya merasa amat sangat lancing dalam hal ini. Hal-hal lain akan saya sertakan. Seperti misalnya, saya sudah menitipkan 5 eksemplar di sebuah warung kopi dan besok rencananya akan saya titipkan pula pada acara pameran buku 5 edisi pula. Cuma sekali lagi, untuk ini kita mesti sabar melihat petkembangannya bukan? Alon-alon wae. Gitu.

Yang pasti saya akan coba dulu satu kali ini. melobi bagian penyiaran acara Puisi Pro tersebut, jika mereka sepakat. Hari ini, ketika surat ini saya bikin (mungkin akan ada tambahan dibawah surat saya, jika itu jadi dan diizinkan mereka) saya ingin mencoba edisi perdananya. Redaksi Pawon boleh marah pada sikap saya dengan membagikan gratis sepuluh biji buku-buku mereka. tapi saya rasa, sekali lagu untuk sosialisasi dan pengenalan, barangkali bisa kita coba.

Sebab saya mencintaimu Pawon setelah tak ada apa-apa lagi yang bisa saya cintai. Dan izinkan saya mencintaimu dengan cara saya. Dan maaf jika ada yang salah. Saya akan dengan sangat terbuka menerima kritikan kawan-kawan atas kelancangan ini. Matur nuwun.

Salam dari ruang tamu,
Februari 2008

Share:

2 komentar