Puisi-puisi Rudi Hartono

Nyanyian Sepasang Pecinta

Siang nanti kita berjanji bertemu,
antara jalan penuh asongan yang masih terukir mungil namamu di situ.
Kita sepakat mengemasi segenap remah-remah luka, berwarna merah saga,
sebelum pamitanmu ketika itu, seperti warna darah bumi kita.
Aku harap kau di hadapanku nanti merona dan cantik berkerudung putih,
rapi dan wangi.
Tapi jangan kau kenakan segenap pakaian sunyi di tubuhmu
karena aku tak mau melihatnya.
Aku tak pernah bisa menjawab apa yang kau pertanyakan
karena rasa sayang tak ada alasan, tak terstruktur, dan tak berkerangka.
Jalan itu tetap saja kita lewati
meskipun bekas luka karena kesombongan cuaca
masih menyayat di bibir kita.
Bila nanti kau datang dengan kereta kupu-kupu
kemudian turun dari suara udara
dengan senyum kecil cahaya di balik dadaku kau kusambut.
Desiran angin belum juga datang padaku,
hanya bisikan kerikil kecil membawa kabar lewat di bawah mataku.
Aku tak akan datang, Sayang

Sukoharjo 2006


Wajahmu di Dalam Telephone

Hallo, siapa yang bertanya tentang pagi?
padahal aku sendiri terpatri membukanya setiap hari.
Apakah benar kau bidadari hati yang terbang hinggap tepat di dadaku?
Sementara itu aku terus bertanya
karena hanya ada nomor rahasia di setiap sudut kepak-kepak jemari
dan tombol penyampai pesan
sebagai isyarat bahwa kita harus segera mengemasi janji
karena bertemu pun tak mungkin lagi
Hallo, siapa di situ?
Kekasihku kah?
nafasmu dalam hatiku terlunta oleh desahan suaramu
seperti waktu kita bercinta, remuk redam digerus nuansa kita.
Wajahmu di dalam telephone seringkali membuyarkan konsentrasi
setiap kali ku tanya di mana kau berada
Hai, tak ada bisikan apapun dari mulutmu
yang ada hanya nada sela mengikuti denyut jantungku
yang tak berirama dan tanpa titk koma, melaju semakin lambat
karena pertanyaan yang tak kunjung lega
tetap saja aku pegangi gagang telephone yang sudah lama mati suri
karena aku yakin wajahmu masih tertinggal ayu
di sela-sela nada tunggu yang akhirnya pilu
Kupunguti sisa-sisa riasanmu yang masih lengket tanpa jawab

Surabaya, Agustus 2006


Renungan Takutku Padamu, Marti
Marti,
Aku takut mencintaimu
aku takut dengan kelemahanku yang terus memberontak
dari lingkaran genggamanmu
Perjuanganku memang tak secantik wajahmu yang tanpa cacat
Demi kepompong yang tak pernah bisa bermimpi
tak ada hak untuk bermimpi,
adalah hal yang sama denganku
Ujung lancip daun Teki mengundang langkah lunglaiku,
terjal dan sedikit bergelombang,
tapi dengan lidah ranummu aku terpaksa nodai fajar tadi
dengan selembar puisi ini
agar kau tahu aku tak berhak menjadi kupu-kupu
Marti
Aku takut mencintaimu
adalah sama dengan hantu yang menjaga di pundak kiriku
cukup kau yang tahu
bahwa angin membawaku dalam renungan ketakutanku

Surabaya, Agustus 2006


Cintaku Tumbuh di Meja Ini

Daunan kering di atas meja beton
memberi sedikit harapan
bahwa kita mungin satu nasib.
wajahmu membatu, layu
di bawah pohon nangka sedikit datang cahaya lewat di sela-sela ranting tua
aku memandangmu
hanya ada hening dan kekosongan, sisanya cintaku padamu
Bisikan daun itu memberi isyarat
bahwa kita harus pergi ke singgasana tempat kita nantinya bercengkrama
Banyak mata menyalahkan kita
persetan dengan mereka
yang aku tahu aku cinta, dan kau suka
Dalam kebersamaan ini aku sendiri yang membayangkanmu,
bukan orang lain
sebut saja itu kelebihanku yang sah untuk memelukmu
Dinda
Ada semut mengganggu cumbu kita
pura-pura tak melihat
dan selalu berusaha keras untuk tak kelihatan di depan kita
dari mana datangnya duri yang sering mengadu kita?
tak terasa memang, namun perlahan menggerogoti yakinku di atas kulit lembut lekuk dadamu
Yakinku berseru untuk tidak meninggalkan jejakmu
tanpa arah dan waktu kupastikan cintaku menjemputmu

Surabaya, Agustus 2006


Ketika Tak Bersamamu

Aku datang,
datang pula hamparan luas remah-remah rambutmu menyambutku
Lekuk bibirmu mengatup
tapi berbisik pada lembaran frase-frase pertanyaan
yang rambatan waktupun putus asa menyenggamainya
Menunggumu tiada bermula
akhirnya burung gereja berumahkan rambut kumalku
Penyesalanmu memang kelemahanku
janjiku tak mampu membayar titipan rindumu
barang kali kau ingin menebus dongeng-dongeng pengantar tidurmu
yang kemarin sempat kau pinjamkan pada malamku
jemari kesabaranku tak mampu lagi
menampung rajutan lagu
yang tumbuh subur di pelataran tangga nada
mendayu kesedihan yang kita sepakati bersama
Aku harap kau tetap ada dan bersuara
dan aku pasti mendengarnya,
suaramu serupa gelombang tetap kunanti menyapu iga lemahku

Juni 2006

Tanpamu
Angin hinggap di awang-awang
turun melintasi ranting-ranting dadaku
Kapan hatiku berwarna langit?
Aku tak tahu, biarlah jadi rahasia dunia
Seokor dara kecil menangis,
air matanya mekar menjelma mawar
sambil menggumam seakan diam
“tanpa kepemilikan atas dirimu membuatku tak kesepian”
Maret 2007
Karena Itu
Air matamu karena puisiku yang kucintai
Langkahmu yang menghampiriku yang kusayangi
Adalah kau yang kulingkari pelangi berbentuk hati
Sekali lagi, aku mencintaimu karena itu.
Juli 2007
Sayang Tak Untuk Beralasan
Bekas tatapan matamu masih tertinggal rapi di serambi rumahku,
saat kau pejamkan mata, lalu pergi, udara menciumimu.
Sama halnya kau yang menjelma udara yang kuhirup tanpa setahuku.
Itulah sebabnya aku memikirkanmu
Juli 2007
Perempuanku
Perempuanku, jika kau bidadari terbanglah ke sini!
Aku hampir terlelap karena mengenangmu
Tak mungkin ku akhiri.

Agustus 2006
 

Cinta Itu Diam

Langit terlipat rapi di rambutmu,
yang tadi sempat ku sentuh dengan jemari kesabaranku.
Kau mengingatkanku
pada daun yang belum selesai kurajut,
pada gelombang yang mengombang-ambingkan argumenku
bahwa kau telah bersemayam dalam ruang 3 X 4 inci di bilik jantungku.
Sisanya cintaku padamu yang belum sempat kusampaikan
Sept 2007
Selamat Malam, Sayang
Kau tidurkan matamu yang mulai rapuh dihunus hujan yang masih tersisa, dan ada wangi tanah ,
lainnya mimipimu yang masih kau rencanakan,
denagn harapan paginya kita bertemu diperaduan.
Kapan kita mengakhiri kekejaman ruang dan waktu ini?
Tanyamu pada rindu di dadamu.
Oktober malam 2007
Kursi Pengantin
Ketika mengingatmu sudah habis dilumat udara,
kau belum datang juga
Kursi pengantin kita masih kosong,
hanya lalat-lalat biru lewat di atas kepalaku
menyampaikan cintamu yang tertunda.
Kamarku sudah aku beri bunga yang kupetik dari rambutmu,
dan kursi ini tumbuh melati,
ingin segera kau duduki
dan sejahtera menatap senyumku yang ranum
yang pernah kau ciumi dan kau kagumi.
Kamu adalah lumut di otakku, dan menjalar keseluruh tubuhku.

Penghujung 2007


Penulis: Rudi Hartono, kelahiran Sukoharjo 1 April 1985. Mahasiswa UNS Surakarta, jurusan Sastra Indonesia angkatan 2003. Karya-karyanya pernah dimuat di Pendapa 3 dan Buletin Fillitra (buletin milik jurusan Sastra Indonesia).HP: 085 62 99 44 98.

Tags:

Share:

0 komentar