Halaman Belakang, Kolom Akhir Yunanto Sutyastomo


Namanya Supri, usianya sekarang mungkin sekitar 20-an akhir. Saya ingat ketika dulu dia selalu bercanda dengan seolah-olah tampil sebagai Buto Cakil, sebuah peran yang selalu ada setiap pentas wayang orang atau kulit. Lawan yang selalu dihadapi adalah Arjuna, anak ketiga dari keluarga Pandawa yang ganteng, dan beristri banyak. Dalam pertarungan tersebut Buto Cakil selalu kalah.
Pertarungan yang sebenarnya juga dihadapi Supri dalam kehidupan, dan kini bisa jadi kekalahan yang sama mungkin menimpanya. Setelah sekian lama saya tidak ketemu dia, kami berpisah saat sekolah dasar dulu. Setamat SMA dia bekerja pada kakaknya yang bernama Hari, seorang juragan pangkalan minyak di Bekasi. Hari adalah cerminan manusia urban yang mampu beradaptasi dengan kota. Berangkat dari pegawai SPBU kemudian menjadi jurangan minyak. Lompatan yang diakuinya sendiri bukanlah jalan lurus. Banyak hal yang dilakukan agar dia sampai seperti sekarang, dan untuk itu dia membutuhkan seseorang yang mampu melindungan usahanya. Ketika diketahuinya Supri, sang adik tertangkap basah di kampung sedang mencuri radio tape mushola. Maka terbayang bahwa ada potensi Supri untuk menjaga usahanya yang juga menjadi tumpuan keluarga besar.
Jadilah Supri centeng pangkalan minyak milik Hari. Tidak banyak kabar berita tentang Supri setelah dia pindah ke Bekasi, sampai kemudian saudara kami Mas Lilik pulang. Mas Lilik adalah seorang polisi di Polda Metro Jaya. Dari Mas Lilik, kami tahu kalau Supri dipenjara sebagai tumbal kakaknya yang korupsi uang setoran minyak. Hal ini dilakukan Hari untuk menjaga nama baiknya.
Ketika saya mencoba membayangkan Supri, betapa jauh halaman hidupnya. Tidak pernah terbayang dalam pikiran saya rentang hidup yang harus dia jalani. Saya selalu ingat sewaktu dia menjadi Cakil, betapa gemulai gerakan tubuhnya terutama tangan yang seolah siap memukul Arjuna. Dan seandainya catatan masa lalunya adalah sebuah garis lurus untuk esok hari, saya membayangkan ketemu dia pentas Wayang Orang di Sriwedari atau di Barata.
Kisah Supri menyadarkan saya betapa hal yang sama dialami banyak Manusia Indonesia. Hal yang sama mungkin akan memenuhi setiap halaman hidup keluarga-keluarga Indonesia, terlebih mereka yang tinggal di desa. Tidak banyak pilihan untuk sebuah perbaikan ekonomi masyarakat desa. Diskriminasi terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini. Adalah ironi, desa merupakan sumber bahan pangan utama, tapi separuh lebih masyarakat di desa harus ke kota-kota besar untuk mencari makan.
Apa yang terjadi pada Supri saya temukan juga pada seseorang yang bernama Yu Turi. Saya tidak tahu pasti kenapa dia dipanggil Yu Turi, mungkin saja dia sering memetik daun turi. Yu Turi pada awalnya bekerja sebagai penjual koran bekas. Tapi dia akhirnya tersingkir, tidak mampu bersaing dengan mobil rongsong yang setiap hari berkeliling kota. Masih untung Yu Turi ditampung saudara jauh kami, dia bekerja di katering Mbak Tinuk.
Ironi pembangunan selalu menimpa mereka yang lemah. Dalam piramida kekuasaan, mereka menjadi paling bawah. Pada persoalan kesejahteraan mereka menerima yang paling kecil. Dan kalau melihat kondisi saat ini , mungkin masih akan banyak cerita luka yang terjadi. Supri dan Yu Turi di kehidupan bangsa ini seolah menjadi halaman belakang, dan kita tidak perlu bertanya lagi siapa yang ada di halaman depannya.

Share:

0 komentar