Dan Terima Kasih, Tak Memaksaku Membaca Puisi, oleh: Dian Hartati


Pagi itu tiba-tiba saja demam memerangkap tubuhku. Padahal sebuah perjalanan telah kurencanakan sore nanti. Aku pun harus melawan demam dengan istirahat yang cukup dan beberapa kali menelan obat. Perlawananku berhasil. Menjelang magrib aku pergi ke stasiun dengan tubuh yang lemas.
Setelah menunggu beberapa jam akhirnya kereta yang akan membawaku ke Solo datang juga. Aku duduk bersebelahan bersama Widzar, sedangkan Denai, Kang Dian, Bojes, dan Fadhila duduk berpencar. Selama perjalanan aku tidur. Tepatnya, memaksakan diri untuk tidur karena tak tahan dengan rasa mual yang menyerang.
Setelah sampai di Lempuyangan aku tidak tidur. Aku ingin menikmati perjalanan pagi hari. Apalagi aku belum pernah melihat lanskap perjalanan sepanjang Yogya-Solo. Pagi yang hangat dan bersemangat, karena kondisiku sudah pulih.
Stasiun Solo Jebres yang sepi aku tinggalkan. Seseorang telah menanti di luar stasiun. Menyambut dengan senyuman selamat datang. Aku pun berjalan menyusuri gang-gang yang sepi, tatapan orang-orang yang tak kukenal, dan anjing-anjing yang saling memandang penuh curiga.

Tiba di Rumah Sastra
Tempat menyenangkan dengan rimbun pohonan, halaman yang lapang, dan sebuah sumur yang cukup dalam. Aku pun menikmati suasana baru. Orang-orang baru. Situasi yang berbeda. Inilah yang aku inginkan, segala sesuatu yang tak biasa. Menghindari rutinitas kantor dan menikmati hari dengan pendengaran dan penglihatan yang tak sama.
Di Solo, waktu seakan terus memanjang. Ketika kulihat jam, waktu baru menunjukkan sekitaran angka sembilan. Sepertinya aku akan melewati hari yang panjang dan menyenangkan.
Setelah berbincang di halaman Rumah Sastra, kami semua bergegas ke rumah makan. Lagi-lagi suasana berbeda kudapati. Makanan-makanan itu langsung pindah tempat ke perutku. Oh ya, aku harus minum obat.
Balik lagi ke Rumah Sastra dan beristirahat kembali. Aku pun tidak tahan untuk membersihkan tubuh. Akhirnya menunggu giliran. Selama menunggu aku melihat-lihat koleksi buku yang terdapat di ruangan itu. Buku-buku yang menarik dan cukup langka.
Setelah mandi dan segar kembali. Seseorang mencetuskan untuk pergi berjalan-jalan. Tentunya aku yang hobi jalan-jalan setuju. Setelah mendapatkan petunjuk arah dari tuan rumah kami pergi. Tujuan utama Grand Mall. Aku, Fadhila, Widzar, dan Denai menaiki bis yang lumayan kosong. Ternyata kota Solo di siang hari begitu sepi. Kami berkeliling. Sebenarnya tujuanku ke Grand Mall hanya ingin membandingkan saja. Adakah perbedaan yang mendasar antara Solo dan Bandung. Kami menikmati ice cream sebelum meninggalkan Grand Mall. Ada kejadian menarik yang menimpa Denai. Kartu ATM-nya tiba-tiba saja tertelan. Untungnya dapat langsung ditangani. Wuih… kami berlega hati.
Tujuan selanjutnya Pasar Klewer. Setahuku, pasar itu menjual batik khas Solo. Kembali menunggu Bis. Kami turun di dekat sebuah patung. Menyeberang dan memasuki jalan yang rimbun pohonan. Siang yang terik itu menjadi teduh. Langkah akhirnya membawa kami ke pendopo dan museum Surakarta. Tujuan semula hanya ke pasar, ternyata kami mendatangi tempat yang tak terduga. Menjelang pukul dua siang, Bojes dan Kang Dian datang menyusul. Akhirnya kami semua menyusuri pasar, berbelanja sedikit buah tangan, mampir ke Gladak, dan kembali ke Rumah Sastra. Siang yang begitu menyenangkan.

Senja di Rumah Sastra
Sebuah diskusi sedang berlangsung ketika aku datang. Diskusi yang menarik. Aku pun mencoba mengikuti obrolan yang santai itu. Senja yang anggun di Solo membuat aku diam dan mencermati satu per satu individu yang hadir. Beberapa kukenal dan beberapa lagi wajah-wajah baru.
Semakin malam pengunjung semakin banyak. Acara pun berganti. Saatnya membaca puisi. Ini adalah sesi yang ingin kuhindari. Sungguh aku tak dapat membaca puisi. Aku hanya ingin mendengarkan para penyair itu membacakan puisi. Dua kali namaku dipanggil Bang Saut. Tapi aku tetap tak menyahut. Berdiri di pojokan dan hanya memberikan senyuman. Ampun, aku sedang tak ingin membaca puisi. Aku hanya ingin menikmati pembacaan puisi. Dan terima kasih, tak memaksaku membaca puisi. Hingga acara berakhir dan satu per satu pengunjung pergi.

Malam yang Memabukkan
Malam yang sempat membuat aku terperangah. Aku berdiskusi sebentar dengan Dwicipta. Diskusi yang menarik tentang karya sastra terjemahan. Beberapa referensi kudapatkan. Semakin malam topik pembicaraan berganti. Aku memilih menjadi pendengar bagi teori-teori yang aneh. Tidak tidur dan asyik berkencan dengan seseorang di ujung telepon.
Pagi datang juga dan akhirnya aku harus bersiap untuk kepulangan ke Bandung.

Pagi yang Tetap Hangat
Solo dan orang-orang yang ramah harus kutinggalkan. Segenap kenangan begitu mengental di hati. Terima kasih untuk senyuman yang diberikan. Tuan rumah yang ramah: “Akhirnya aku datang juga ke Solo”.

Share:

0 komentar